Beranda | Artikel
Cara Menggoreng Isu
Minggu, 1 Agustus 2021

Bismillah.

Kebenaran akan selalu berhadapan dengan kebatilan. Sebagaimana keadilan akan selalu berhadapan dengan kezaliman. Maka begitu pula iman dan tauhid akan berhadapan dengan kufur dan syirik. Oleh sebab itu Allah menjadikan bagi para nabi berbagai bentuk musuh dari kalangan jin dan manusia.

Dari sanalah perintah beribadah kepada Allah pun selalui dibarengi dengan perintah menjauhi syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah taghut.” (an-Nahl : 36). Karena tidak mungkin terwujud amal dan ibadah yang benar kecuali dengan membersihkan diri dari syirik.

Manusia hidup diantara dua pilihan; antara menjadi hamba Allah atau menjadi budak bagi selain-Nya. Orang yang hidup dalam tauhid akan merasakan ketentraman dengan zikir dan ketaatan. Sebaliknya orang yang tenggelam dalam syirik akan terjebak dalam kegalauan dan kesempitan yang tidak berkesudahan. Sempit yang dimaksud bukan berarti sempitnya harta atau rendahnya jabatan. Akan tetapi sempitnya jiwa dari kemurnian ibadah kepada Allah. Sehingga hatinya tercerai-berai kesana-kemari tidak menentu seiring dengan beragam pujaan yang dia gandrungi…

Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan orang beriman dan mengingat Allah sebagai orang yang hidup bebas sementara orang yang menjalani kehidupan dunia tanpa iman dan melupakan Allah digambarkan sebagai orang yang mati dan lenyap darinya ruh kebahagiaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal.” (HR. Bukhari)

Pada masa-masa manusia tertipu oleh kemegahan dunia dan dirundung kecemasan akan hancurnya kesenangan yang mereka peroleh selama ini -padahal itu hanyalah kenikmatan semu dan memperdaya- maka berbagai bentuk gerakan dicanangkan oleh bala tentara Iblis untuk memalingkan manusia dari jalan kebenaran. Seribu satu cara ditempuh untuk menghiasi kebatilan agar tampak indah di hadapan manusia dan mengesankan kebenaran sebagai barang busuk yang harus dibuang dan dimusnahkan! Wallahul musta’aan

Penghambaan kepada selain Allah -yang itu jelas-jelas merusak fitrah manusia dan menjerumuskan manusia dalam lembah kezaliman dan kehinaan- dipromosikan dengan menampilkan perhiasan-perhiasan dan kemewahan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jalan menuju surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai oleh syahwat dan hawa nafsu, sementara jalan menuju neraka dikelilingi oleh hal-hal yang disukai nafsu. Di sinilah keimanan seorang hamba diuji; apakah dia lebih mendahulukan bimbingan Allah ataukah dia lebih percaya dan hanyut dalam rayuan setan dan lilitan hawa nafsu…

Ketergantungan kepada selain Allah merupakan sumber segala malapetaka. Karena tidak ada yang lebih mengetahui keadaan alam semesta ini kecuali Allah Rabb yang telah menciptakannya. Allah pula yang telah menuliskan segala sesuatu yang akan terjadi di alam dunia ini semenjak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Allah yang memberikan rezeki kepada hamba. Allah yang menurunkan musibah dan nikmat kepada umat manusia. Allah pula yang paling mengetahui siapa yang hidup dengan nafas takwa dan siapa yang hidup dengan nafas kefajiran. Maka tidak ada kemuliaan bagi manusia kecuali dengan pondasi dan asas takwa di dalam hatinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan jasad-jasad kalian. Akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim). Baiknya hati akan membuahkan baiknya lisan dan perbuatan anggota badan. Oleh sebab itu Allah menyebutkan betapa beruntung orang yang berjuang untuk menyucikan jiwanya dan betapa merugi orang yang mengotori dirinya dengan syirik dan kedurhakaan kepada Rabbnya. Karenanya, sebagian ulama terdahulu berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih keikhlasan.”

Kita tentu mengharapkan kebahagiaan. Akan tetapi kebahagiaan itu bukan dengan mengabdi kepada setan dan tunduk kepada rayuannya. Kebahagiaan hanya akan tercapai dengan mengikuti petunjuk Allah dan bimbingan al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Adakah sebuah kedurhakaan yang lebih jelek daripada ketika anda mengira bahwa anda adalah orang yang paling mengerti apa yang halal dan haram tanpa mengindahkan aturan Allah dan Rasul-Nya?!

Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan aku pijak, jika aku berbicara tentang al-Qur’an sesuatu yang aku tidak punya ilmu tentangnya.” Oleh sebab itu Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah/ajaran atau hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya hanya karena mengikuti perkataan seseorang tokoh.” 

Mengapa ahli kitab disebut menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai sesembahan? Tidak lain karena mereka menobatkan pendeta dan rahib layaknya tuhan yang berwenang menetapkan hukum halal dan haram. Sehingga apa yang halal menjadi haram karena fatwa mereka, dan apa yang haram pun menjadi halal karena fatwa mereka. Mereka telah lancang berbicara tentang Allah dan agama-Nya tanpa landasan ilmu dan hujjah yang nyata. Mereka menyelewengkan kalam Allah dari makna dan maksud yang semestinya. Mereka menyembunyikan kebenaran dan rela menjual agamanya hanya demi mencicipi serpihan kemewahan dunia yang fana!!

Kaum muslimin yang dirahmati Allah… pada hari-hari pandemi meliputi, sesuatu yang terbaik untuk dilakukan oleh seorang hamba adalah menyadari berbagai kesalahan dan dosanya. Karena dengan begitu akan terbuka pintu taubat untuknya. Sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, “Tidaklah turun malapetaka kecuali karena dosa dan tidaklah ia akan diangkat kecuali dengan sebab taubat.” Mengakui kesalahan bukanlah aib. Yang menjadi aib adalah ketika seorang bertahan dalam kesalahan dan merasa dirinya di atas kebenaran…

Apabila seorang manusia terbaik setelah para nabi saja diajari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakui kezaliman dirinya dalam rangkaian ibadah sholatnya, maka bagaimana lagi dengan orang-orang yang hidup di akhir zaman semacam kita? Allahumaa inni zhalamtu nafsi zhulman katsiira… wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta… faghfirlii maghfiratan min ‘indik… Ya Allah aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak, dan tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu… Doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu

Seperti inilah kiranya sikap seorang muslim terhadap dirinya. Sikap seorang hamba kepada Rabbnya. Sikap yang menunjukkan perendahan diri dan pengagungan kepada Allah. Sikap yang menunjukkan kefakiran dan kebutuhannya kepada Rabb penguasa jagad raya. Bukan sikap yang sombong dan angkuh apalagi menolak aturan dan hukum-hukum Allah… Dan siapakah yang lebih bagus hukumnya daripada hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini…

Rusaknya kehidupan ini terjadi karena rusaknya penghambaan kita kepada Allah. Yang menjadi masalah; apakah kita mau menyadari kesalahan kita atau kita akan terus membela diri dengan sejuta dalih dan kepalsuan?! Allah telah berikan petunjuk kepada manusia; maka sebagian mereka bersyukur, tetapi sebagian yang lain pun lebih memilih untuk kufur… wal ‘iyadzu billah


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/cara-menggoreng-isu/